Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Seorang yang bertauhid adalah yang beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan semua sesembahan selain-Nya. Tauhid merupakan kunci surga dan sebab selamat dari siksa neraka. Tauhid juga merupakan syarat diterimanya amalan. Oleh sebab itulah dakwah tauhid menjadi dakwah paling pokok di dalam Islam.
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ayat ini menunjukkan bahwa beribadah kepada Allah merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia. Dan yang dimaksud beribadah itu adalah dengan mentauhidkan-Nya. Beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik itulah tauhid.
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Setiap rasul mengajak umatnya untuk mengesakan Allah dalam beribadah. Setiap rasul juga menyerukan kepada kaumnya untuk meninggalkan penghambaan kepada selain Allah (thaghut).
Beribadah kepada Allah semata dan menjauhi syirik merupakan pondasi tegaknya agama Islam dan pokok seluruh ajaran para rasul. Oleh sebab itu wajib bagi setiap manusia untuk menujukan ibadahnya kepada Allah semata dan berlepas diri dari syirik dengan segala bentuknya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)
Tauhid inilah keadilan yang paling tinggi yang harus ditegakkan oleh umat manusia. Karena ibadah adalah hak Allah semata, tiada yang berhak menerima ibadah selain-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas setiap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tauhid merupakan syarat diterimanya amal-amal salih. Sebab Allah tidak akan menerima amal yang tercampuri dengan kesyirikan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Dalam hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Bahkan, syirik kepada Allah menjadi sebab tertolaknya semua amalan. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Syirik pula yang menyebabkan seorang dihukum kekal di dalam neraka. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (al-Maa-idah : 72)
Hal itu disebabkan syirik adalah dosa besar yang paling besar dan kezaliman yang paling zalim. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih mengampuni dosa-dosa yang berada di bawahnya bagi siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)
Oleh sebab itulah kalimat tauhid merupakan cabang keimanan yang paling tinggi dan paling utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam kalimat tauhid itu terkandung penetapan bahwa ibadah harus diberikan atau dipersembahkan kepada Allah semata dan juga terkandung pengingkaran terhadap peribadatan kepada selain-Nya. Oleh sebab itu perintah beribadah kepada Allah juga disertai dengan larangan dari berbuat syirik. Seperti dalam firman Allah (yang artinya), “Dan sembahlah Allah serta janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)
Tidaklah seorang muslim disebut berpegang-teguh dengan kalimat tauhid kecuali apabila dia juga mengingkari segala bentuk ibadah kepada selain Allah. Sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat -yaitu kalimat tauhid, pent- dan tidak akan putus.” (al-Baqarah : 256)
Ibadah kepada Allah harus ikhlas dan murni untuk-Nya. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan untuk-Nya agama/amal dengan hanif, dan mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)
Ibadah yang tidak ikhlas dan tidak dilandasi dengan aqidah yang benar maka akan sia-sia di akhirat nanti dan justru mendatangkan malapetaka dan siksa. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu telah mereka kerjakan kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Sungguh merugi, orang yang melakukan amal-amal akan tetapi mencampurinya dengan syirik kepada Allah. Dia mengira dirinya berbuat baik namun kenyataannya dia telah membuat Allah murka dengan perbuatan syiriknya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia dalam keadaan mereka mengira bahwa dirinya telah melakukan yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)
Amal yang diterima oleh Allah hanyalah yang ikhlas karena-Nya dan dilakukan sesuai dengan tuntunan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang dimaksud dengan istilah ‘amal yang terbaik’. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
Kalimat ‘laa ilaha illallah’ mengandung makna bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah, dengan kata lain kalimat ini mengandung prinsip keikhlasan. Adapun dalam kalimat ‘anna Muhammadar rasulullah’ terkandung prinsip bahwa kita tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Taat kepada rasul adalah bagian dari ketaatan kepada Allah, karena rasul adalah yang menjelaskan tata-cara beribadah kepada Allah.
Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa taat kepadaku maka dia masuk surga, dan barangsiapa durhaka kepadaku maka sungguh dia adalah orang yang enggan -masuk surga-.” (HR. Bukhari)
Oleh sebab itu Allah memberikan ancaman keras bagi siapa saja yang menentang rasul dan keluar dari jalannya. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)
Mengikuti rasul adalah sebab kecintaan Allah dan ampunan dari-Nya. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)
Tidaklah benar keimanan seorang hamba sampai dia menjadikan rasul sebagai pemutus segala perselisihan yang terjadi diantara manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim/pemutus perkara atas segala yang diperselisihkan diantara mereka itu, kemudian mereka tidak mendapati di dalam hatinya rasa sempit atas keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’ : 65)
Tidak akan baik keadaan manusia kecuali dengan mengembalikan segala perselisihan mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian jika kalian berselisih tentang suatu perkara hendaklah kalian mengembalikan perkara itu kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (an-Nisaa’ : 59)
Seorang muslim akan merasakan manisnya iman apabila menundukkan dirinya kepada ketetapan Allah dan rasul-Nya dan mendahulukan hal itu di atas segala pemikiran dan hawa nafsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman seorang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki beriman atau perempuan beriman apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain bagi urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)
Oleh sebab itulah para ulama menerangkan bahwa hakikat islam itu adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan para pelakunya. Inilah Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Inilah Islam yang diajarkan oleh seluruh nabi ‘alaihimus salam kepada umatnya.
Nasihat dan Petuah Para Ulama
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib untuk mempelajari tauhid dan mengenalinya sehingga seorang insan bisa berada di atas ilmu yang nyata. Apabila dia mengenali tauhid maka dia juga harus mengenali syirik apakah syirik itu; yaitu dalam rangka menjauhinya. Sebab bagaimana mungkin dia menjauhinya apabila dia tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya jika orang itu tidak mengenalinya -syirik- maka sangat dikhawatirkan dia akan terjerumus di dalamnya dalam keadaan dia tidak menyadari…” (lihat at-Tauhid, ya ‘Ibaadallah, hal. 27)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/17)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para da’i pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal aqidah. Tanpa memperbaiki aqidah tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki aqidah, yaitu aqidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16)
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, setiap hamba wajib mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tidaklah diragukan bahwasanya Allah subhanahu telah menurunkan Al-Qur’an sebagai penjelas atas segala sesuatu. Dan bahwasanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskan Al-Qur’an ini dengan penjelasan yang amat gamblang dan memuaskan. Dan perkara paling agung yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an ini adalah persoalan tauhid dan syirik. Karena tauhid adalah landasan Islam dan landasan agama, dan itulah pondasi yang dibangun di atasnya seluruh amal. Sementara syirik adalah yang menghancurkan pondasi ini, dan syirik itulah yang merusaknya sehingga ia menjadi lenyap…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 14)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Washobi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah wahai saudaraku sesama muslim, semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepadamu, bahwa seorang insan tidaklah termasuk ahli tauhid yang sebenarnya kecuali setelah dia mengesakan Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah.” (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillati at-Tauhid, hal. 32)